Logo Indonesia

Adab Seorang Guru Kepada Murid (Bagian 2)

Penulis: Admin PKBM Al-Buruj | Status: 2 | Tanggal: 14-07-2021 06:56

Adab Seorang Guru Kepada Murid (Bagian 2)
<p>Ada beberapa adab yang harus diperhatikan seorang guru, agar ilmu yang disampaikan kepada muridnya penuh dengan keberkahan. Adab ini terkait dengan bagaimana seorang guru menjaga dirinya, dan hubungannya dengan Allah Swt. Dalam kitab Tadzkiratussami, Imam Ibnu Jama'ah menyebutkan dalam bab 2, pasal Adab Seorang Guru Terhadap Dirinya, disebutkan beberapa poin adab, sebagai berikut:</p><p><b>Menjaga Syiar (Identitas) Keislaman.</b> Seorang alim adalah 'hujjah' Allah terhadap orang-orang awam. Orang yang tidak punya ilmu akan menjadikan orang alim acuan dari perbuatan mereka, termasuk menjadikan mereka standar amalan. Untuk itu, Ahli ilmu harus senantiasa menjaga amalan, dengan tidak sekedarnya, bahkan harus dengan amalan yang utama. Sehingga, orang awam pun bisa mengambil manfaat dari ilmu dan teladan dari para ahli ilmu tersebut. Misalnya dengan senantiasa menjaga sholat 5 waktu di masjid, menebarkan salam kepada sesama, amar ma'ruf nahi munkar, termasuk dalam hal sabar menerima gangguan dalam berdakwah.&nbsp;</p><p><b>Menjaga Perkara yang Dianjurkan Dalam Syariat</b>. Seorang guru hendaklah menjaga amalan-amalan yang dituntunkan syariat. Misalnya senantiasa membaca Al Quran, dzikir, sholat sunnah, puasa sunnah, dan sebagainya. Berhati-hati terhadap ayat Al Quran yang telah dihafal supaya tidak hilang, dan menyusun jadwal bersama Al Quran agar interaksinya senantiasa terjaga.&nbsp;</p><p><b>Semangat Bermuamalah dengan Akhlak Mulia.</b> Seorang guru hendaklah menjaga akhlaknya, misalnya dengan menampakkan wajah berseri, menyebarkan salam, memberi makan kepada sesama, tidak mengganggu orang lain, berempati, gemar memberikan kegembiraan kepada orang lain, tidak mudah marah, lemah lembut, berbuat baik kepada muridnya, ringan tangan, dan sebagainya. Tatkala melihat orang lain melakukan kesalahan, maka seorang alim seharusnya menegur dengan ramah dan penuh kelembutan. Hal ini mencontoh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tatkala melihat orang Badui kencing di masjid, juga ketika Nabi menegur Muawiyah bin Hakam yang berbicara di dalam sholat.&nbsp;</p><p><b>Menyucikan Jiwa dan Raganya. </b>Seorang guru harus senantiasa membersihkan jiwa dan raganya dari akhlak yang tercela, dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Seorang alim harus menghindari akhlak seperti khianat, hasad, kufur nikmat, riya', sum'ah, curang, sombong, dan sebagainya. Seorang guru juga semestinya menghindarkan dirinya dari sikap berlomba-lomba untuk urusan dunia, menyukai pujian, ghibah, mengadu domba, menutup mata dari aib sendiri, juga menjauhkan diri dari merendahkan orang lain. Ahli ilmu hendaknya senantiasa bertaubat, ikhlas, yakin, ridha, merasa cukup dengan karunia Allah, zuhud, tawakal, serta senantiasa memperbesar rasa cintanya pada Allah dengan selalu berusaha meneladani Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.&nbsp;</p><p><b>Selalu Berusaha Meningkatkan Kualitas Keilmuan.</b> Senantiasa berusaha mengikuti kebiasaan para ulama dalam meningkatkan kualitas keilmuan, misalnya dengan semangat menuntut ilmu, mengajar, membaca, dan memiliki kesungguhan dalam menjauhkan dirinya dari perkara yang sia-sia. Sebagian ulama dahulu tidak menyia-nyiakan sedikitpun dari umurnya dengan perkara yang menjauhkannya dari ilmu, kecuali untuk perkara yang darurat yang harus dilakukan, seperti makan, minum, istirahat dari kelelahan, mencari nafkah, atau karena sakit. Bahkan sebagian ulama tidak meninggalkan kesibukan mereka untuk belajar dan mengajar, meskipun dalam kondisi sakit ringan atau luka kecil. Mereka justru menjadikan ilmu sebagai obatnya, atau mereka tetap menyibukkan diri dengan ilmu sesuai kemampuannya saat itu.&nbsp;</p><p><b>Tawadhu' dalam Mencari Faedah Ilmu.</b> Tidak sombong dengan ilmu yang sudah diperoleh. Senantiasa semangat mengambil ilmu, meskipun dari orang yang kedudukan, nasab dan umur ada dibawahnya. Berkata Sai'd bin Jubair rahimahullah, "Seseorang akan senantiasa alim (berilmu), selama dia mau belajar. Jika dia tidak mau belajar lagi dan mengira bahwa dia telah cukup serta puas dengan ilmu yang dimiliki, maka dia adalah orang yang paling bodoh. "</p><p><br></p><p>Sumber Tulisan : Tadzkiratuss Saami' wal mutakallim fii adabil 'alim wal muta'alim, Imam Badruddin Ibnu Jama'ah</p>